BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Negara Indonesia menganut paham
kedaulatan rakyat atau demokrasi. Rakyat adalah pemilik kekuasaan tertinggi
dalam negara. Kekuasaan yang sesungguhnya adalah berasal dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Kekuasaan bahkan diidealkan diselenggarakan
bersama-sama dengan rakyat. Pemisahan kekuasaan (separation of power) ke
dalam tiga lembaga yaitu legislatif, eksekuif, dan yudikatif sebenarnya adalah
pelaksana kekuasaan yang mengabdi kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan
negara yang sesungguhnya. Orang-orang yang duduk disana adalah sebagai pelayan
dan pengabdi yang bekerja demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Undang-Undang Dasar mengatur
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur
konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi. Karena itu, menurut
Jimly Asshiddiqie prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan
hukum (nomocratie) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai
dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itu, Undang-undang Dasar negara kita
menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia itu adalah Negara Hukum
yang demokrasi (democratische rechtstaat) dan sekaligus adalah Negara
Demokrasi yang berdasarkan atau hukum (constitutional democracy) yang
tidak terpisahkan satu sama lain.
Penyaluran kedaulatan rakyat secara
langsung dilakukan melalui pemilihan umum untuk memlih anggota lembaga
perwakilan dan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Pengertian tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dapat kita lihat dalam Ketentuan
Umum Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden sebagai berikut:
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, selanjutnya disebut pemilu Presiden dan Wakil Presiden, adalah
pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemilu merupakan sarana tak
terpisahkan dari kehidupan politik negara demokrasi modern. Bagi bangsa yang
tengah berjuang melembagakan “kekuasaan rakyat”, kata Indonesianis, Lance
Castles, pemilu masih dihayati sebagai ritus massal. Suatu perayaan
kebersamaan, yang bisa gagal atau mengecewakan. Namun juga menjadi langkah maju
dalam melembagakan kedaulatan rakyat secara efektif dan lestari.
Pemilu memang merupakan keputusan
yang sangat penting bagi masa depan negara. Bila suatu pemilu berjalan baik
maka sebuah negara dapat melanjutkan menuju demokrasi dan perdamaian. Sebaliknya,
bila pemilunya berjalan buruk bahkan gagal, sebuah negara bisa dibilang tengah
meruntuhkan demokrasi dan kembali menuju titik nadirnya. Itulah sebabnya pemilu
kerap disebut sebagai roh demokrasi.
1.2 Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden Sebelum Amandemen UUD 1945
Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengatur secara umum tentang penyelenggaraan pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 6 Ayat 2 (sebelum diamandemen)
dinyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disebut dengan MPR) dengan suara yang
terbanyak. Anggota MPR terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(selanjutnya disebut DPR) ditambah dengan utusan-utusan daerah dan
golongan-golongan. Anggota DPR adalah wakil-wakil rakyat dari partai politik
yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden secara tidak langsung yakni oleh lembaga negara yang diisi oleh
sebagian kecil elit politik dan pemerintahan terjadi sejak pemilihan Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta, mereka dipilih oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang diakui oleh Pasal III Aturan Peralihan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena saat itu MPR
belum dibentuk. Pemilihan secara tidak langsung ini terus berlanjut hingga
terakhir saat Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden RI ke-4.
1.3 Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden Sesudah Amandemen UUD 1945
Amandemen Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebanyak 4 (empat) kali banyak membawa perubahan
dalam berbagai bidang kehidupan. Salah satu perubahan penting yang dibawa oleh
UUD 1945 adaIah pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Pasal 6
A Ayat (1) menyatakan:
Presiden dan Wakil Presiden dipilih
dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
Pasal diatas secara tegas menyatakan
bahwa sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bukan lagi secara tidak
langsung yakni oleh MPR, tetapi secara tegas bahwa rakyatlah yang memilih
pemimpin mereka sendiri. Dasar hukum yang diberikan sangatlah jelas. Hal ini
merupakan sebuah terobosan politik (political breakthrough) yang hebat
dalam sistem politik Indonesia.
Ada dua faktor penting yang
menghambat terlaksananya pemilihan presiden secara langsung. Pertama adalah kepentingan
kelompok tertentu dari elit politik. Elit politik ini lebih cenderung kepada
pemilihan tidak langsung (yakni oleh MPR) karena lebih mudah dikendalikan
sehingga rekayasa untuk mendudukkan tokoh tertentu dapat dilakukan. Hal ini
berarti presiden ditentukan oleh sekelompok kecil orang yang duduk pada pucuk
pimpinan politik/pemerintahan sehingga menghasilkan sistem politik yang elitis.
Kedua adalah keraguan tentang kemampuan
rakyat lndonesia untuk bisa memilih dengan baik dan benar karena adanya
keraguan tentang kemampuan, kesadaran, dan wawasan politik rakyat Indonesia.
Tentu saja tidak dapat disangkal bahwa ada sejumlah besar rakyat Indonesia yang
belum bisa menjatuhkan pilihan secara mandiri karena kesadaran politik yang
rendah. Namun juga tidak dapat disangkal bahwa hampir semua rakyat yang tinggal
di daerah perkotaan dan sebagian besar rakyat yang tinggal di pedesaan
diperkirakan mampu menggunakan hak pilih mereka dengan baik. Oleh karena itu
diperkirakan sebagian besar rakyat Indonesia bisa menjalankan peran mereka
dengan baik dalam pemilihan presiden secara langsung. Rakyat Indonesia patut
bersyukur bahwa MPR kemudian menyetujui pemilihan presiden secara langsung
setelah mengalami berbagai tantangan. Dengan disetujuinya RUU Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 7 Juli 2003, bangsa Indonesia semakin dekat
kepada terselenggaranya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung
untuk pertama kali dalam sejarah negara-bangsa Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Keunggulan Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden Secara Langsung
Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden (selanjutnya disebut pemilihan Presiden saja) secara langsung adalah
buah dari perdebatan yang muncul pada paruh pertama tahun 2000. Pada masa itu,
pengalaman “pahit” yang terjadi pada proses pengisian jabatan Presiden selama
Orde Baru dan proses pemilihan Presiden tahun 1999 mendorong untuk dilakukan
pemilihan Presiden langsung karena beberapa alasan (raison d’etre) yang
sangat mendasar. Saldi Isra memberikan 4 (empat) alasan sebagai berikut:
Pertama, Presiden yang terpilih melalui
pemilihan langsung akan mendapat mandat dan dukungan yang lebih riil dari
rakyat sebagai wujud kontrak sosial antara pemilih dengan tokoh yang dipilih.
Kemauan orang-orang yang memilih (volonte generale) akan menjadi
pegangan bagi Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan kekuasaannya.
Kedua, pemilihan Presiden langsung secara
otomatis akan menghindari intrik-intrik politik dalam proses pemilihan dengan
sistem perwakilan. Intrik politik akan dengan mudah terjadi dalam sistem
multipartai. Apalagi kalau pemilihan umum tidak menghasilkan partai pemenang
mayoritas, maka tawar-tawar politik menjadi sesuatu yang tidak mungkin
dihindarkan.
Ketiga, pemilihan Presiden langsung akan
memberikan kesempatan yang luas kepada rakyat untuk menentukan pilihan secara
langsung tanpa mewakilkan kepada orang lain. Kecenderungan dalam sistem
perwakilan adalah terjadinya penyimpangan antara aspirasi rakyat dengan
wakilnya. Ini semakin diperparah oleh dominannya pengaruh partai politik yang
telah mengubah fungsi wakil rakyat menjadi wakil partai politik (political
party representation).
Keempat, pemilihan langsung dapat
menciptakan perimbangan antara berbagai kekuatan dalam penyelenggaraan negara
terutama dalam menciptakan mekanisme checks and balances antara
Presiden dengan lembaga perwakilan karena sama-sama dipilih oleh rakyat.
Sebelum perubahan UUD 1945, misalnya, yang terjadi dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, MPR menjadi sumber kekuasaan dalam negara karena adanya ketentuan
bahwa lembaga ini adalah pemegang kedaulatan rakyat. Kekuasaan inilah yang
dibagi-bagikan secara vertikal kepada lembaga-lembaga tinggi negara lain
termasuk kepada Presiden. Akibatnya, kelangsungan kedudukan Presiden sangat
tergantung kepada MPR.
2.2. Model Pemilihan Langsung di
Indonesia
Dalam literatur hukum tata negara
dan ilmu politik terdapat beberapa model pemilihan langsung. Menurut Saldi Isra
ada 4 (empat) model pemilihan langsung yang dipraktikkan di berbagai negara. Berikut keempat model tersebut:
Pertama, sistem Electoral College System di
Amerika Serikat (AS). Pada sistem ini rakyat tidak juga langsung memilih calon
Presiden tetapi melalui pengalokasian jumlah suara dewan pemilih (electoral
college votes) pada setiap propinsi (state). Jika seorang kandidat
memenangkan sebuah state maka ia akan mendapat semua jumlah electoral
college (the winner takes all) pada daerah bersangkutan. Sistem ini bukan
tanpa cela, karena tidak tetutup kemungkinan calon yang memperoleh suara
pemilih terbanyak gagal menjadi Presiden karena gagal untuk memperoleh jumlah
mayoritas suara pada electoral college. Kejadian ini dapat diamati dalam
pemilihan Presiden AS terakhir November 2000. Al Gore mendapatkan total suara
lebih banyak sekitar 360-an ribu suara, sementara George W. Bush unggul dalam
perolehan electoral college (272 : 267) sehingga yang menjadi Presiden
AS adalah George W. Bush.
Kedua, kandidat yang memperoleh suara
terbanyak dalam pemilihan langsung menjadi Presiden atau first-past the
post. Seorang kandidat dapat menjadi Presiden meskipun hanya meraih kurang
dari separuh suara pemilih. Sistem ini membuka peluang untuk munculnya banyak
calon Presiden sehingga peluang untuk memenangkan pemilihan kurang dari 50%
lebih terbuka. Jika ini terjadi maka presiden terpilih akan mendapatkan
legitimasi yang rendah karena tidak mampu memperoleh dukungan suara mayoritas
(50% + 1).
Ketiga, Two-round atau Run-off system: Pada
sistem ini, bila tak seorangpun kandidat yang memperoleh sedikitnya 50% dari
keseluruhan suara, maka dua kandidat dengan perolehan suara terbanyak harus
melalui pemilihan tahap kedua beberapa waktu setelah tahap pertama.
Jumlah suara minimum yang harus diperoleh para kandidat pada pemilihan
pertama bervariasi di beberapa negara. Sistem ini paling populer
dilaksanakan di negara-negara dengan sistem presidensil. Namun sistem
ini sangat memerlukan kesiapan logistik dan biaya besar. Sistem seperti
ini biasanya membuka peluang bagi jumlah kandidat yang besar pada
pemilihan tahap pertama dan upaya “dagang sapi” untuk memenangkan
dukungan bagi pemilihan tahap kedua. Jumlah kandidat yang terlalu besar
dapat dikurangi dengan menerapkan persyaratan yang sulit bagi nominasi
kandidat.
Keempat, model Nigeria. Di Nigeria, seorang
kandidat Presiden dinyatakan sebagai pemenang apabila kandidat tersebut dapat
meraih sedikitnya 30% suara di sedikitnya 2/3 (dua pertiga) dari 36 negara
bagian di Nigeria (termasuk ibu kota Nigeria). Sistem ini diterapkan untuk
menjamin bahwa Presiden terpilih memperoleh dukungan dari mayoritas penduduk
yang tersebar di 36 negara bagian tersebut.
Melihat dari keempat model diatas
dapat kita lihat bahwa pemilihan langsung di Indonesia lebih mirip dengan model
pemilihan langsung di Nigeria. Kemiripan itu dilatarbelakangi oleh pertimbangan
bahwa pemenang tidak selalu ditentukan oleh jumlah pemilih tetapi juga
persebaran wilayah. Kesimpulan ini berdasarkan hasil amandemen Pasal 6 A Ayat 3
dan 4 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai berikut:
Pasal 6 A Ayat 3
Pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah
suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di
setiap propinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah propinsi di
Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 6 A Ayat 4
Dalam hal tidak ada pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara
langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden
dan Wakil Presiden.
2.3. Persyaratan Menjadi Calon Presiden
dan Wakil Presiden
Setiap warga negara yang hendak
mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia harus memenuhi persyaratan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 42
Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagai berikut:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa;
Yang dimaksud dengan ”bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa” dalam arti taat menjalankan kewajiban agamanya.
b. Warga Negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya
sendiri;
Warga negara yang menjadi calon
Presiden dan calon Wakil Presiden adalah warga negara yang telah mengalami
akulturasi nilai-nilai budaya, adat istiadat dan keaslian bangsa Indonesia,
serta memiliki semangat patriotisme dan jiwa kebangsaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan “tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain karena kehendak sendiri” adalah tidak pernah
menjadi warga negara selain warga negara Republik Indonesia atau tidak pernah
memiliki dua kewarganegaraan atas kemauan sendiri.
c. tidak pernah mengkhianati negara,
serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat
lainnya;
Yang dimaksud dengan “tidak pernah
mengkhianati negara” adalah tidak pernah terlibat gerakan separatis, tidak
pernah melakukan gerakan secara inkonstitusional atau dengan kekerasan untuk
mengubah dasar negara serta tidak pernah melanggar Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
d. mampu secara rohani dan jasmani
untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden;
e. bertempat tinggal di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Yang dimaksud dengan “bertempat
tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia” dalam ketentuan ini
termasuk Warga Negara Indonesia yang karena alasan tertentu pada saat
pendaftaran calon, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan melengkapi
persyaratan surat keterangan dari Perwakilan Negara Republik Indonesia
setempat.
f. telah melaporkan kekayaannya
kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara;
g. tidak sedang memiliki tanggungan
hutang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung
jawabnya yang merugikan negara;
h. tidak sedang dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan;
i. tidak pernah melakukan perbuatan
tercela;
Yang dimaksud dengan “tidak pernah
melakukan perbuatan tercela” adalah tidak pernah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma adat antara lain
seperti judi, mabuk, pecandu narkoba, dan zina.
j. terdaftar sebagai Pemilih;
k. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama 5 (lima) tahun
terakhir yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak Orang Pribadi;
Dalam hal 5 (lima) tahun terakhir,
bakal Pasangan Calon tidak sepenuhnya atau belum memenuhi syarat sebagai wajib
pajak, kewajiban pajak terhitung sejak calon menjadi wajib pajak.
l. belum pernah menjabat sebagai
Presiden dan Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang
sama;
Yang dimaksud dengan “2 (dua) kali
masa jabatan dalam jabatan yang sama” adalah yang bersangkutan belum pernah
menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik
berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut
kurang dari 5 (lima) tahun.
m. setia kepada Pancasila sebagai
dasar negara, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan
cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945;
Persyaratan setia kepada Pancasila
sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 didasarkan atas rekomendasi dan
jaminan pimpinan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.
n. tidak pernah dijatuhi pidana
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih;
Orang yang dipidana penjara karena
kealpaan atau alasan politik dikecualikan dari ketentuan ini.
o. berusia sekurang-kurangnya 35
(tiga puluh lima) tahun;
p. berpendidikan paling rendah tamat
Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
Yang dimaksud dengan “bentuk lain
yang sederajat” antara lain Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), Pondok
Pesantren Salafiah, Sekolah Menengah Theologia Kristen, dan Sekolah Seminari.
Kesederajatan pendidikan dengan SMA ditetapkan oleh Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundangundangan.
q. bukan bekas anggota organisasi terlarang
Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang
terlibat langsung dalam G.30.S/PKI; dan
r. memiliki visi, misi, dan program
dalam melaksanakan pemerintahan negara Republik Indonesia.
Persyaratan yang telah disebutkan oleh
undang-undang menimbulkan perdebatan di kalangan publik secara luas. Yang
paling disoroti adalah tentang masalah apakah seorang terdakwa boleh dicalonkan
sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden dan apakah syarat pendidikan bagi
calon Presiden dan Wakil Presiden, disyaratkan lulus sarjana atau cukup tamatan
SMA atau yang sederajat?
Dibukanya kemungkinan bagi terdakwa
untuk tampil sebagai capres sebenarnya tidak mempunyai makna politik yang
besar, kecuali diperlihatkannya sikap yang tidak mempedulikan pandangan
masyarakat terhadap citra capres. Tidak dapat disangkal bahwa capres yang
berstatus sebagai terdakwa mempunyai citra yang kurang baik di mata masyarakat.
Meskipun keputusan hukum tetap belum turun, namun vonis yang sudah dijatuhkan
oleh pengadilan yang lebih rendah sudah menunjukkan bahwa yang bersangkutan
telah terlibat dalam pelanggaran hukum. Dalam dunia politik, citra dan nama
baik adalah segala-galanya. Vonis bersalah yang dijatuhkan oleh pengadilan
tingkat pertama dan kedua sudah merusak citra dan nama baik yang bersangkutan.
Oleh karena itu disetujuinya ketentuan yang membolehkan terdakwa mencalonkan
diri tidaklah dapat dianggap sebagai kemenangan orang atau partai tertentu
karena yang lebih penting adalah dukungan dari para pemilih. Bila ada partai
atau gabungan partai yang berani mencalonkan seorang terdakwa sebagai capres,
dapat diperkirakan bahwa si capres itu akan menjadi bulan-bulanan capres yang
lain dalam kampanye. Di samping itu capres tersebut juga akan menjadi bahan
sindiran dan kritik masyarakat yang tentu saja akan mendesak citra sang capres
bersangkutan. Oleh karena itu, sebenarnya tidak ada pihak yang menang dengan
bolehnya seorang yang berstatus terdakwa sebagai capres karena yang akan
menentukan dalam pemilihan presiden adalah dukungan para pemilih.
Sedangkan mengenai syarat pendidikan
bagi calon Presiden dan Wakil Presiden menjadi bahan perdebatan publik secara
luas. Bagi yang berpendapat bahwa calon Presiden dan Wakil Presiden harus lulus
sarjana beralasan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh kepada kecerdasan
intelektual dan kepemimpinan. Bagaimana seorang Presiden atau Wakil Presiden
yang hanya tamatan SMA atau yang sederajat memimpin para menteri yang
berpendidikan tinggi mulai dari sarjana S1 hingga S3, bahkan ada yang sudah
meraih gelar profesor. Bahkan bila diperhatikan dengan kondisi saat ini, dimana
kualitas pendidikan bangsa Indonesia sudah lebih baik dari sebelumnya, ketika
perusahaan dan lembaga pemerintahan mensyaratkan lulusan sarjana bagi para
pelamar kerja, apakah tidak lucu ketika undang-undang hanya mensyaratkan
tamatan SMA atau yang sederajat bagi calon Presiden dan Wakil Presiden yang
akan menjalankan kepemimpinan bangsa dan negara yang besar ini?
Namun bagi pihak yang berpendapat
persyaratan tamatan SMA atau yang sederajat bagi calon Presiden dan Wakil
Presiden adalah baik. Persyaratan pendidikan sarjana bagi capres sebenarnya
memang tidak diperlukan karena akan mempersulit calon yang tidak bergelar
sarjana. Seorang aktivis organisasi pada umumnya amat disibukkan oleh
kegiatan-kegiatan organisasi dan sosial sehingga tidak sempat menyediakan waktu
untuk mengikuti kuliah-kuliah di perguruan tinggi secara teratur. PadahaI untuk
bisa menyelesaikan studi di perguruan tinggi diperlukan waktu dan suasana yang
tenang sehingga dapat menyelesaikan studi dengan baik. Oleh karena itu tidak
mengherankan bila banyak para aktivis organisasi yang terhambat dalam
menyelesaikan studi mereka. Bila tujuannya adalah untuk menghasilkan capres
yang berkualitas karena mampu mengembangkan nalar dengan tingkat
intelektualitas yang tinggi, pendidikan tinggi bukanlah satu-satunya sarana.
Pengalaman aktif berorganisasi dan memimpin banyak orang dalam organisasi
merupakan sarana yang lebih penting dalam membentuk keterampilan memimpin dan mengembangkan
daya nalar dan intelektualitas sebagai pemimpin.
Maswadi Rauf menilai bahwa
diperbolehkannya seorang yang berstatus terdakwa diajukan sebagai calon
Presiden dan Wakil Presiden dan disahkannya ketentuan mengenai SMA atau yang
sederajat sebagai persyaratan pendidikan minimal bagi capres merupakan produk
dari tawar menawar antara dua partai besar (masing-masing Golkar dan PDIP). Apa
pun yang terjadi, tawar menawar yang berkaitan dengan sikap dan pendapat dalam
proses pembuatan keputusan adalah suatu hal yang wajar dalam dunia politik.
Kemampuan mengadakan tawar-menawar (bargaining) haruslah dikembangkan
oleh setiap pimpinan dan fungsionaris politik agar supaya keputusan bisa
dihasilkan. Selama proses tawar-menawar itu tidak melibatkan pertukaran uang
dan/atau benda, selama itu pula tawar menawar dapat dianggap sah sebagai salah
satu cara penyelesaian perbedaan pendapat.
2.4. Asas, Pelaksanaan, Lembaga
Penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yakni Undang-undang Nomor 42 Tahun
2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara
efektif dan efisien, berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali yang dilaksanakan secara serentak
pada hari libur atau hari yang diliburkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagai satu kesatuan daerah pemilihan. Hari, tanggal, dan
waktu pelaksanaannya ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setelah pemilu
anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sedangkan pengawasan dilaksanakan oleh Bawaslu.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih
memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu.Pemilihan
Umum di Indonesia itu membuka mata dunia
bahwa demokrasi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di Indonesia. Selain
sebagai negara Muslim terbesar di dunia dan negara demokrasi terbesar ketiga di
dunia, Pemilu di Indonesia juga harus melakukan pemilihan terhadap ribuan calon
legislatif dan menyelenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. Struktur
Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD 1945. Makalah yang
disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional di Denpasar, Bali, pada
tanggal l4-18 Juli 2003. Tulisan diambil pada tanggal 16 Mei 2010 dari
http//:www.struktur ketatanegaraan indonesia setelah perubahan keempat
UUD 1945.pdf.html
Persandingan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945: UUD 1945 Naskah Asli dengan UUD 1945
Hasil Amandemen (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Cet. Pertama.
Rauf, Maswadi. Perkembangan UU
Politik Pasca Amandemen UUD 1945. Makalah yang disajikan dalam Seminar dan
Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional di Denpasar, Bali, pada tanggal l4-18 Juli 2003.
Tulisan diambil pada tanggal 16 Mei 2010 dari http//:www. perkembangan
UU politik pasca amandemen UUD 1945pdf.html
Saldi Isra, Jurnal Konstitusi
Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (PUSAKO): Pemilihan Presiden
Langsung dan Problematik Koalisi Dalam Sistem Presidensial. (Jakarta:
Mahkamah Konstitusi RI, 2008), Volume II No. 1 Edisi Juni 2009.
Suranto, Hanif dkk, Kritis
Meliput Pemilu (Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2008), Cet.
Pertama.
Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008
Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4924.
Cocok buat pelajar yang lagi cari materi tentang pemilihan presiden nih
ReplyDeletewah benar2 lengkap nih makalah pknny , makasih gan
ReplyDeleteMantapp gan. Bisa langsung diopas :'vv
ReplyDeletememilih presiden gak bisa sembarangan meski merasa sang calon pantas menjadi presiden kita. btw, bagus nih makalahnya
ReplyDeleteSiapa pun berhak menggunakan hak pilihnya, nggak bisa dipaksa buat milih yang ini atau yang itu. Yang menurut kita paling pantas memimpin itulah yang kita pilih.
ReplyDeletewah ty gan ane lagi cari makalah ini hehe
ReplyDeletePost a Comment